INFOPUSAKA | Sore itu, di tengah riuhnya Istana Negara yang baru saja menggelar pelantikan menteri, Budi Arie Setiadi berdiri dengan wajah tenang. Tak ada gurat kecewa, apalagi kemarahan.
Ia justru tersenyum, menjawab pertanyaan wartawan dengan nada santai dan penuh canda.
“Yang pasti balik adalah ke rumah,” ucapnya, ketika ditanya ke mana langkahnya akan berlabuh usai tak lagi menjabat sebagai Menteri Koperasi.
“Kalau ke rumah orang lain, bahaya,” tambahnya, membuat suasana yang semula tegang berubah cair.
Rumah yang dimaksud Budi bukan sekadar tempat bernaung, melainkan simbol dari asal-muasal perjuangannya: Projo, organisasi relawan yang dulu ikut mengantarkan Joko Widodo menuju kursi kepresidenan.
Di sanalah Budi memulai langkah politiknya, bukan sebagai pejabat, tapi sebagai penggerak. Sebagai orang lapangan yang percaya bahwa politik sejatinya adalah soal keberpihakan.
Kini, setelah masa baktinya di pemerintahan berakhir, ia memilih untuk kembali ke titik awal.
“Pulang ke rumah,” katanya, dengan ketulusan yang tak dibuat-buat.
Dalam perjalanan panjangnya, Budi Arie dikenal sebagai sosok yang sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo. Ia bukan sekadar relawan. Ia sahabat, pendukung, sekaligus penjaga semangat politik Jokowi di akar rumput.
Sejak awal, Budi Arie melihat Jokowi bukan hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai simbol dari apa yang ia sebut “politik rakyat”.
Namun hubungan hangat itu tak membuatnya tertutup terhadap perubahan. Saat tampuk kekuasaan berpindah ke tangan Presiden Prabowo Subianto, Budi Arie tak menunjukkan penolakan.
Ia justru memilih untuk bersikap realistis, mendukung pemerintahan baru dengan semangat keberlanjutan.
“Kita tetap mengabdi kepada rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Dari rakyat, kembali ke rakyat,” ujarnya tegas, seolah ingin menegaskan bahwa kesetiaan sejatinya bukan pada jabatan atau figur, melainkan pada cita-cita bersama.
Namun, politik selalu punya ruang bagi kesalahpahaman kecil yang membesar. Belum lama setelah reshuffle, publik ramai membicarakan satu hal yang tampak remeh tapi sarat tafsir, Budi Arie diketahui tak lagi mengikuti akun Instagram Presiden Prabowo Subianto.
Media sosial pun geger. Ada yang menebak itu tanda kecewa, ada pula yang mengaitkannya dengan sikap politik. Tapi di balik hiruk-pikuk dunia maya, orang-orang dekat Budi Arie justru menganggapnya hal biasa.
“Hubungan Pak Budi dan Pak Prabowo baik-baik saja,” kata salah satu koleganya singkat. Tak ada jarak, tak ada ketegangan. Hanya algoritma media sosial yang bekerja tanpa pertimbangan politik.
Budi sendiri memilih diam. Ia tak membantah, tak juga mengklarifikasi. Mungkin karena baginya, loyalitas tak diukur dari tombol follow atau unfollow. Kesetiaan, dalam pandangannya, adalah soal sikap, bukan tampilan digital.
Bagi Budi Arie, pulang ke Projo bukan langkah mundur. Justru di sanalah ia merasa bisa kembali berbuat banyak. Dari kursi birokrat, ia mungkin pernah memegang kekuasaan. Tapi dari pangkuan relawan, ia memegang hati rakyat.
“Pulang itu bukan berarti selesai,” katanya suatu kali, dalam perbincangan santai dengan sejumlah relawan.
“Kadang kita perlu kembali ke titik awal untuk mengingat kenapa dulu berjuang.”
Kini, ia ingin kembali menata semangat Projo sebagai gerakan sosial yang tetap setia di garis rakyat, entah siapa pun pemimpinnya di Istana. Sebab baginya, rumah sejati seorang relawan bukan di lingkar kekuasaan, melainkan di tengah rakyat yang diperjuangkannya.
Dan dari situlah mungkin, perjalanan baru Budi Arie Setiadi dimulai lagi, bukan sebagai menteri, bukan pula sebagai pejabat, tetapi sebagai seorang yang tak pernah berhenti percaya bahwa politik bisa tetap manusiawi. (**)